Ketika bicara soal kuliner apalagi kalau tidak membahas soal rasa, taste spesifik
makanan yang bikin lidah perasa berdecap-decap. Decap kenikmatan rasa
yang membawa rindu kala makanan itu habis tak bersisa. Genre
khas, tradisional, pribumi berpadu dalam nilai sensasi ‘sesuatu’ yang
dihadirkan kembali suatu saat. Apalagi kalau jenis makanan itu susah
didapat kecuali di daerah tempat produksinya. Ngangenin pastinya.
Dalil
diatas berlaku juga buat menu kuliner tradisional satu ini. Nasi Tiwul
Cabuk Wonogiren. Biar mudah penyebutannya, saya singkat Tibuk alias Tiwul Cabuk. Menu yang cukup dikenal karena nuansa kental pribumi, berkarakter tradisi namun mempunyai taste
special nan berbeda, khas kedaerahannya. Menu ini merupakan perpaduan
antara nasi tiwul dan cabuk produk original penduduk Wonogiren (’e’
dibaca seperti dalam kata ‘keren’). Wonogiren adalah sebutan ‘gaul’
untuk Kabupaten Wonogiri.
Wonogiri
sendiri terkenal dengan sebutan Kota Gaplek, karena banyak produksi
gaplek di kota ini. Gaplek adalah bahan dasar untuk membuat nasi tiwul
yang disebut juga pohung atau singkong atau ubi ketela pohon yang telah dikeringkan. Pohungnya adalah pilihan dan telah kering sehingga tiwul tidak apek (beraroma tak sedap). Tak heran nasi tiwul tersohor kelegitannya sampai ke mancanegara. Konon mantan
Presiden Soeharto (alm) sangat menyukai nasi tiwul ini. Maklum saat
masa kecil, beliau sempat bermukim di salah satu daerah bagian selatan
kota Wonogiri ini. Oleh karena itu, menu ini sangat layak masuk referensi kuliner dalam Indonesia Travel, sebagai menu yang memperkaya khasanah kuliner di tanah air dan bercita rasa khas nusantara. Mari coba kita rasakan, kayak apa sih pesona menu ini, dimana letak passion Wonogirennya.
Performa nasi tiwul kecoklatan sedangkan cabuk warnanya hitam legam. (foto pribadi)
Coba
kita cicipin nasi Tibuk ini. Performa nasi tiwul jika diamati berbentuk
gumpalan-gumpalan bulir-bulir kecil. Bulir ini terbentuk saat pengolahan tepung gaplek atau disebut kabluk yang dicampur air lalu diuleni (diremas-remas terus menerus) hingga menjadi bulir-bulir kecil tiwul. Antar bulir itu menyatu satu sama lainnya. Agak liat. Jika sudah matang warnanya kuning tua kecoklatan dan ada yang hitam. Kabluk
tadi memungkinkan terjadinya ragam tekstur tiwul, ada yang sedikit
kasar, ada juga yang lebih halus, dan agak lengket. Sementara sebagai sparing partner makan nasi tiwul adalah cabuk. Kolaborasi keduanya jadilah Tibuk.
Cabuk
adalah jenis menu dari biji tanaman wijen yang sangat khas Wonogiren.
Diolah sedemikian rupa hingga perwujudannyanya lembek meski agak kering
juga. Berwarna hitam legam bertekstur halus meski tidak lembut, karena
faktor butiran biji wijennya. Rasa dan aroma khas berasa agak pedas dan
getir. Dipengaruhi oleh bumbunya diantaranya
cabe, bawang putih, gula jawa, daun kemangi muda, parutan kelapa lalu
dibungkus daun pisang hingga berbentuk gulungan.
Cabuk warnanya hitam dalam gulungan daun pisang. (foto pribadi)
Cara
makan Tibuk lebih nikmat tidak menggunakan sendok, tapi langsung
menggunakan tangan. Satu ‘pulukan’ kecil kumpulan jari-jari tangan kita
ditambah satu ‘dulitan’ cabuk langsung sekali suap. Satu suapan dan
kunyahan pertama akan terasa kenyal nasi tiwulnya. Kunyahan berikutnya
rasa bercampur dengan pedas agak sedikit getir dari cabuknya. Wuiiihhh…
mata jadi mengerjab-ngerjab nikmat. Apalagi tibuk ditaruh di alas daun
jati. Aroma daun jatinya turut ‘berkolaborasi’ rasa. Boleh juga
ditambahin ‘jangan lombok ijo’ (sayur cabe hijau) dengan sedikit kuah.
Kuah sedikit saja, asal membasahi tiwulnya. Bagi yang terbiasa makan
tiwul akan merasakan sensasi jaman baheula. Bayangkan tibuk disajikan dalam bungkusan daun jati atau daun pisang, mantap dan maknyuuss !!
Untuk
memperoleh tibuk, di beberapa lokasi pasar di Wonogiri tersedia. Kita
bisa beli sesuai dengan ragam pilihan. Misalnya nasi tiwul campur cabuk,
ikan teri, mie glondong (pentil), gudangan (urap) dan lain-lain.
Sementara kalau di supermarket di kota, ada yang menyediakan nasi tiwul
dalam bentuk bahan mentah. Di acara-acara tertentu seperti Jakarta Fair kemarin, bahan tiwul ini juga dijual dalam kemasan kantong plastik yang cantik.
Nasi tiwul disajikan lengkap dengan cabuk, mie glondong, gudangan atau urap, peyek kacang dan teri, ikan asin. (foto pribadi)
Untuk
diketahui, sedikit sejarah nasi tiwul, pada awalnya fungsi nasi tiwul
sebagai makanan pokok pengganti nasi putih (beras padi). Maklum dulu
beras mahal, sementara geologi tanah di wilayah Wonogiri sulit untuk
bertani padi, tapi lebih mudah untuk berkebun dan menanam siongkong.
Dalam
perkembangannya seiring kehidupan masyarakat yang lebih baik, menu ini
sudah bergeser posisinya bukan sebagai makanan pokok lagi, namun menjadi
salah satu menu yang dikangenin bagi yang pernah mengkonsumsinya.
Termasuk saya. Kalau pas pulang kampung, menu nasi tiwul plus cabuk, sayur lombok (cabe) ijo, gudangan (urap),
tempe benguk sudah menjadi menu yang harus dicicipin lagi. ‘Gairah
merindu’ kampung kelahiran yang sesaat sirna di kota, kembali kental
terasa. Saya pikir, teman-teman wajib mencoba menu ‘Tibuk’ ini. Minat?
No comments:
Post a Comment