Cabuk? Apa itu?
Tentu teman-teman yang berdomisili di Surakarta dan Wonogiri Jawa Tengah
mengenal jenis makanan ini. Jenis makanan yang berfungsi seperti sambal
yang kusukai sejak masa kecil. Warnanya hitam pekat, agak lembek.
Rasanya pedas, agak pahit dan sedikit getir, beraroma kental menyengat
khas rasa biji tanaman wijen.
Ada sekian banyak
jenis makanan khas dari Wonogiri. Kota yang terkenal dengan sebutan kota
gaplek ini, identik dengan makanan khas seperti nasi tiwul, kacang
mete, emping melinjo, cabuk dan lain-lain. Khusus untuk kacang mete dan
emping melinjo menjadi camilan sajian umum saat lebaran. Makanan khas
itu ada seiring tersedianya bahan pokok seperti singkong, pohon jambu
monyet, pohon melinjo dan tanaman wijen.
Nasi tiwul terbuat
dari tepung gaplek, yakni singkong yang dikeringkan dan ditumbuk. Tiwul
biasanya dinikmati bersama ikan asin, parutan kelapa, sambal, atau
cabuk. Bagi yang tak terbiasa makan nasi tiwul mungkin akan merasakan
perut panas. Biasanya untuk menghilangkan efek itu ditambah atau
dicampur dengan nasi putih.
Sedangkan kacang
mete adalah camilan yang terbuat dari biji buah jambu monyet, yang
dikupas dan diberi bumbu lalu digoreng. Jenis mete asal Wonogiri sangat
dikenal karena bijinya utuh-utuh dan besar dan rasanyapun pulen
dibanding dari daerah lain. Tak heran harga perkilonya pun selalu
merangkak naik dari tahun ke tahun. Harga pas momen lebaran ini Rp.
95.000 per kilogram. Sementara emping melinjo adalah makanan hasil
olahan biji buah melinjo. Biji buah melinjo dikupas, disangrai lalun
ditumbuk hingga berbentuk lempengan kecil.
Cabuk berwarna hitam karena unsur klaras. (Foto pribadi)
Nah, kalau cabuk
ini jenis makanan ‘teman’ nasi tiwul maupun nasi putih dengan harga
sangat terjangkau, namun bercitarasa khas. Biasanya dikemas dalam bentuk
gulungan daun pisang ukuran kecil sekitar 10 an cm. Menurut ibu saya,
cara pembuatan cabuk gampang-gampang susah, lumayan njlimet, butuh
kesabaran untuk mendapatkan cabuk yang halus dan khas.
Bahan dasar
utamanya adalah dari biji tanaman wijen. Biji wijen umumnya diperas
menghasilkan minyak wijen. Minyak wijen ini termasuk minyak alami.
Selain digunakan untuk mengolah makanan juga bisa berfungsi sebagai
obat. Tak heran harganya lebih mahal daripada minyak umumnya. Ampas
hasil pemerasan biji wijen inilah yang dipergunakan sebagai bahan baku
pembuatan cabuk.
Cabuk berasa pedas-pedas agak getir, biasa dimakan dengan nasi tiwul. (Foto pribadi)
Lalu bagaimana pembuatan cabuk ini?
Ibu saya
menuturkan secara singkat soal cara pembuatan cabuk yang telah turun
temurun diketahuinya dari nenek almarhum yang tinggal di kampung arah
pantai selatan Wonogiri. Pertama-tama biji wijen yang masih mentah
digoreng tanpa minyak hingga matang. Setelah matang, lalu ditumbuk
hingga menjadi semacam tepung. Lalu dikukus dengan dicampur air sedikit
sekitar satu jam. Kemudian dicampur Londo, ampas kelapa dan dikukus lagi selama sejam. Londo dibuat dari klaras (daun pisang kering) yang dibakar di kuali bercampur air, lalu ditumbuk menjadi tepung. Londo inilah yang membuat warna cabuk jadi hitam.
Setelah itu, cabuk dibumbui agar ada rasanya. Bumbu yang dibutuhkan diantaranya cabe, bawang putih, gula jawa, daun kemangi muda, parutan kelapa lalu dibungkus daun pisang hingga berbentuk gulungan. Ukuran gulungan ini tergantung selera, bisa besar maupun kecil. Kemudian dipanggang diatas bara api, seperti dipepes. Bisa juga langsung dibuat sambal cabuk, dengan campuran garam, gula jawa, cabe rawit, bawang putih dan daun kemangi.
Demikian sekedar
mengetahui komposisi dari cabuk. Untuk lebih mudahnya anda tinggal
membeli di toko oleh-oleh di Wonogiri atau di Surakarta. Namun konon
rasa cabuk Wonogiri berbeda dengan cabuk Surakarta, terutama aroma khas
wijennya yang lebih kuat serta perbedaan komposisi cabai dan daun
kemanginya.
Salam Goyang Lidah